Deskripsi Singkat

(TPB#13) PENANGANAN PERUBAHAN IKLIM

Mengambil Tindakan Cepat untuk Mengatasi Perubahan İklim dan Dampaknya.

Pada tahun 2030, emişi gas rumah kaca di Indonesia paling banyak berasal dari konsumsi bahan bakar fosil yang berkontribusi sebesar 57% dari total emisi gas rumah kaca. Selain konsumsi bahan bakar fosil, deforestasi dan alih fungsi lahan juga berkontribusi sekitar 30% dari total emisi gas rumah kaca (Bappenas, 2019). Kebakaran hutan dan lahan gambut menghasilkan lebih dari 1 juta ton C02 emisi yang utamanya disebabkan oleh pembukaan lahan (Anderson et al, 2016).

Penanganan perubahan iklim perlu melibatkan peningkatan penggunaan energi terbarukan dan efisiensi energi, juga memperluas reforestasi hutan. Namun begitu, karena target pembangunan yang multi-sektoral, penanganan perubahan iklim juga perlu searah dengan menjaga pertumbuhan ekonomi.

Indonesia merupakan penghasil emisi GRK tertinggi kelima di dunia (WRI, 2014). Source: Directorate for the Environment, Bappenas Million ton C02e in 2030 with BAU scenario in 2030 with intervention scenario. Meski intensitas emisi mengalami penurunan, pertumbuhan permintaan batu bara yang mencapai 7,4% pada tahun 2018 merupakan salah satu yang tertinggi di dunia (PwC, 2018). Padahal, konsumsi batu bara merupakan salah satu faktor utama emisi GRK.

Di Indonesia, upaya untuk mendorong ekonomi hijau masih dilakukan oleh sektor tertentu di pemerintahan dan komunitas LSM. Sementara beberapa perusahaan bear dan secktor lain di pemerintahan menolak reformasi tersebut karena dipandang sebagai penghalang pertumbuhan ekonomi dan ketahanan nasional (Anderson et al, 2016). Ketidakmampuan untuk melakukan sinkronisasi tujuan pembangunan berkontribusi terhadap rendahnya kepatuhan akan peraturan mengenai reforestasi dan moratorium lahan gambut.

Share :